Sekelompok orang menumpang sebuah perahu, berlayar di laut, membelah gelombang. Masing-masing mendapatkan tempat duduk. Salah seorang dari para musafir itu, menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya, mulai membuat sebuah lubang di bawah tempat duduknya dengan sebuah alat tajam. Andaikata para musafir itu tak segera menahan tangannya dan mencegahnya dari berbuat demikian, tentu mereka semua, termasuk si celaka itu, akan terancam tenggelam.
[Rasulullah Muhammad SAW]
Dengan indahnya, Sang Revolusioner Nabiyullah Muhammad SAW mengilustrasikan hubungan antara individu, masyarakat, dan proses penyempurnaan hidup yang tak terpisahkan di antara keduanya. Muhammad SAW tidak hanya memandang peranan individu (pribadi) dalam kehidupan, tapi juga massa (ummat). Demikian akhirnya, dalam dienul–Islam, setiap individu tidak saja memiliki tugas untuk beribadah yang bersifat individual, akan tetapi juga bersifat massal. Ibadah tidak hanya dilakukan oleh pribadi, tapi juga oleh masyarakat. Sampai akhirnya, rupanya kategori dosa pun tidak bersifat personal an sich, tapi banyak di antaranya yang disebut dosa sosial….
Demikianlah, proses penyempurnaan hidup itu sendiri pada dasarnya dilakukan melalui proses interaktif satu sama lain. Karena, pembagian individu dan masyarakat ini hanya berada pada wilayah konsepan (persepsi), sementara dalam realitasnya satu sama lain sulit dipisahkan, maka mencapai kesempurnaan itu sendiri akhirnya menuntut kerja masyarakat. Hingga di sini dapat disimpulkan bahwa tugas perubahan sosial dalam mencapai maslahat itu sesungguhnya menjadi tugas masyarakat di tiap zamannya. Bahkan, tidak hanya temporer, tugas suci ini sesungguhnya diemban secara bersama-sama oleh masyarakat di tiap dan dari zaman ke zaman berikutnya. Inilah tugas sepanjang hayat kemanusiaan bagi seluruh generasi manusia.
Kendati begitu, pada tataran realitasnya, tentu saja peranan itu dibagi berdasarkan kapasitas yang dimiliki komponen pada sekelompok manusia. Dalam artian, sungguh naïf mengharapkan akan dijalankannya suatu peranan sosial, sementara komponen itu sendiri tidak memiliki kapasitas yang bersesuaian untuk menjalankan hal ini. Karena itu, selalu saja ada tuntutan berbeda bagi kelompok raushanfikr (tercerahkan) dan belum tercerahkan dalam mengemban tugas perubahan. Bagai sekawanan nabi yang memikul tugas kenabiannya, komponen ini sesungguhnya tergolong pewaris tahta kenabian, yang pada intinya sama-sama memikul tugas menggerakkan perubahan sosial di tengah masyarakat demi terciptanya kesempurnaan jiwa kemanusiaan. Dalam mushaf al-Qur’an, mereka ini disebut sebagaiulil–albab.
Oleh karena keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan ilmu (‘ulama) dan gelora cinta di dada akan cahaya kebenaran, maka dapat diprediksikan bahwa mereka ini tergolong ke dalam kaum terpelajar. Dalam domain keindonesiaan, mereka ini boleh jadi merupakan para mahasiswa. Ini bisa jadi terlampau berlebihan, karena itu ada beberapa catatan penting terkait dengan keberadaan kelompok dimaksud, akhir-akhir ini. Meski begitu, wujud mungkin berupa potensi besar gerakan mahasiswa untuk menjalankan tugas sosial, tentu tak hilang begitu saja. Wujud mungkin itu adalah kekuatan dahsyat.
Kenapa demikian? Karena, jika mengikuti alur berpikir common–sense, mahasiswa adalah kelas menengah tercerahkan, antara rakyat kebanyakan dan negara, hasil seleksi dari suatu komunitas masyarakat urban. Konstituen, budaya, dan struktur yang berkembang di dalamnya punya konotasi ilmiah-rasional dan intelektualisme, sehingga ditempeli banyakembel–embel kesucian moralitas, kecendekiaan, dan heroisme.
Baca lebih lanjut →